Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran mengenai kondisi sosial pekerja pada industri sepatu. Pada kondisi prekariat prekaritas yang penuh ketidakpastian, mereka harus membuat keputusan untuk memilih tetap berada dalam industri tersebut atau keluar. Secara khusus akan dicermati strategi apa saja yang akan mereka lakukan untuk dapat terus bertahan dalam industri sepatu. Secara teoritis, penelitian ini berangkat dari pandangan Tsing 2015 tentang kondisi para pekerja yang penuh dengan ketidakpastian, namun dibalik semua itu ada berbagai hal yang dapat dijadikan sebagai pegangan hidup yang memungkinkan mereka bertahan. Penelitian dilakukan secara kualitatif di bengkel sepatu d'Arcadia Treasure, di kampung Sanding, desa Bojongnangka, kecamatan Gunung Putri, kabupaten Bogor dengan mengandalkan pengamatan terlibat, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pekerja sepatu tersebut memiliki cara bertahan dengan melakukan hubungan sosial berdasarkan kesamaan tempat belajar, kecocokan pertemanan, hubungan kekerabatan, asal daerah, dan generasi. Kata Kunci prekaritas, pekerja, sektor informal, hubungan sosial, strategi bertahan. Abstract The intention of this research was to describe the precarity life of the shoe workers. Their precarious conditions raised questions about how they decided to keep working in the shoes' workshop. More specifically, there was also a study of how they managed their way to deal with and overcame this precarity in order to survive. Theoretically, this research was inspired by Tsing 2015 who had seen precarity as something vulnerable and full of uncertainty, but on the other hand, it provided the workers with many possibilities in life. The research was carried out in a workshop shoes namely d'Arcadia Treasure in Sanding Village, Bojong Nangka-Gunung Putri, Bogor, West Java. Using qualitative approach, it relied on participant observation, in-depth interviews, and literature studies. The result shows that the shoe workers have developed specific social relations based on the similar mentor, friendship, kinship, place of origin, and age cohort. PENDAHULUAN Sektor ekonomi informal merupakan suatu fenomena di banyak negara berkembang yang muncul sebagai respons atas berbagai kebijakan dan situasi. Di Indonesia, studi mengenai pekerja informal diawali dengan tulisan Manning & Effendi 1985 yang melihat hubungan antara perpindahan penduduk desa ke kota sebagai awal dari munculnya sektor informal di kota. Tanpa bekal pendidikan dan ketrampilan yang mencukupi, para pendatang itu harus berjuang di luar sektor ekonomi formal di perkotaan. Pandangan demikian bertahan agak lama; isu urbanisasi menjadi akar dari sektor informal. Sekitar 15 tahun kemudian, perhatian lebih banyak ditujukan pada kegagalan dari negara dalam menjamin kesejahteraan bagi warganya. Chaniago 2001 Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 247Para Pekerja Prekariat Studi Kasus Para Pekerja Sepatu di Dâarcadia Treasure, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Anisa Nuraini Swadesi & Semiarto Aji PurwantoPARA PEKERJA PREKARIATStudi Kasus Para Pekerja Sepatu di Dâarcadia Treasure, Gunung Putri, Bogor, Jawa BaratTHE PRECARIAT WORKERSThe Case Study of Shoe Workers In Dâarcadia Treasure, Gunung Putri, Bogor, West JavaAnisa Nuraini SwadesiProgram Studi Pascasarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas IndonesiaE-mail Aji PurwantoDepartemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas IndonesiaE-mail semapur ini bertujuan untuk memberi gambaran mengenai kondisi sosial pekerja pada industri sepatu. Pada kondisi prekariat prekaritas yang penuh ketidakpastian, mereka harus membuat keputusan untuk memilih tetap berada dalam industri tersebut atau keluar. Secara khusus akan dicermati strategi apa saja yang akan mereka lakukan untuk dapat terus bertahan dalam industri sepatu. Secara teoritis, penelitian ini berangkat dari pandangan Tsing 2015 tentang kondisi para pekerja yang penuh dengan ketidakpastian, namun dibalik semua itu ada berbagai hal yang dapat dijadikan sebagai pegangan hidup yang memungkinkan mereka bertahan. Penelitian dilakukan secara kualitatif di bengkel sepatu dâArcadia Treasure, di kampung Sanding, desa Bojongnangka, kecamatan Gunung Putri, kabupaten Bogor dengan mengandalkan pengamatan terlibat, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pekerja sepatu tersebut memiliki cara bertahan dengan melakukan hubungan sosial berdasarkan kesamaan tempat belajar, kecocokan pertemanan, hubungan kekerabatan, asal daerah, dan generasi. Kata Kunci prekaritas, pekerja, sektor informal, hubungan sosial, strategi intention of this research was to describe the precarity life of the shoe workers. Their precarious conditions raised questions about how they decided to keep working in the shoesâ workshop. More speciîżcally, there was also a study of how they managed their way to deal with and overcame this precarity in order to survive. Theoretically, this research was inspired by Tsing 2015 who had seen precarity as something vulnerable and full of uncertainty, but on the other hand, it provided the workers with many possibilities in life. The research was carried out in a workshop shoes namely dâArcadia Treasure in Sanding Village, Bojong Nangka - Gunung Putri, Bogor, West Java. Using qualitative approach, it relied on participant observation, in-depth interviews, and literature studies. The result shows that the shoe workers have developed speciîżc social relations based on the similar mentor, friendship, kinship, place of origin, and age precarity, workers, social relations, ekonomi informal merupakan suatu fenomena di banyak negara berkembang yang muncul sebagai respons atas berbagai kebijakan dan situasi. Di Indonesia, studi mengenai pekerja informal diawali dengan tulisan Manning & Effendi 1985 yang melihat hubungan antara perpindahan penduduk desa ke kota sebagai awal dari munculnya sektor informal di kota. Tanpa bekal pendidikan dan ketrampilan yang mencukupi, para pendatang itu harus berjuang di luar sektor ekonomi formal di perkotaan. Pandangan demikian bertahan agak lama; isu urbanisasi menjadi akar dari sektor informal. Sekitar 15 tahun kemudian, perhatian lebih banyak ditujukan pada kegagalan dari negara dalam menjamin kesejahteraan bagi warganya. Chaniago 2001 248 Sosio Informa Vol. 3, No. 03, September - Desember, Tahun 2017. Kesejahteraan Sosialdikembangkan para literaturPekerja industri-kapitalis telah banyak diteliti oleh peneliti-peneliti antropologi, diantaranya kajian yang dilakukan oleh Tsing 2015, Ong 1987, Wolf 1992, Chotim 1994, dan Setia 2005.Dalam bukunya yang terakhir, Tsing 2015 meneliti secara global tentang para pekerja pencari jamur matsutake. Ia menggambarkan secara global bagaimana ketersediaan jamur matsutake ini berpengaruh terhadap nasib para pencari jamur yang merupakan pekerja industri kapitalis di berbagai negara. Terdapat empat tempat yang menurutnya mempengaruhi perkembangan industri jamur matsutake ini diantaranya Jepang bagian Tengah Jepang, Oregon Amerika Serikat, Yunnan Cina, dan Laplan Finlandia. Tsing 2015 20 menggambarkan kehidupan pencari jamur matsutake sebagai prekaritas yaitu kehidupan tanpa jaminan kestabilan, kondisi yang rentan terhadap orang lain, keadaan yang tidak dapat diprediksi perubahannya, tidak dapat mengendalikan bahkan pada diri sendiri, tidak yakin tentang di mana/kapan/bagaimana, dan kurangnya pegangan untuk memperjuangkan masa depan. Dalam kondisi ketidakpastian ini, tidak adanya rencana akan waktu adalah hal yang mengenai para pekerja indiustri di negara berkembang, menurut para ahli antropologi tak lepas dari hubungan sosial antar pekerja dengan komunitas mereka di luar industri. Temuan Ong 1987 antara lain mendapatkan gambaran tentang perubahan sosial para pekerja perempuan desa dengan sistem upah dalam pabrik Jepang, perpindahan dari sawah ke pabrik, perpindahan dalam mengelola waktu yang tergantung pada menunjukkan bagaimana sektor informal dapat dilihat sebagai bagian dari relasi negara-masyarakat secara luas. Walaupun pandangan yang bersifat makro ini cukup banyak dalam kajian mengenai sektor informal, namun upaya untuk melihat bagaimana dinamika di tingkat mikro juga menjadi para pekerja informal bertahan dalam posisinya menjadi makin kompleks penjelasannya. Di masa kini, pekerja informal bukan hanya ditunjukkan oleh para pekerja di sektor ekonomi formal seperti kaki lima, industri rumah tangga dan sektor-sektor jasa di lain di perkotaan. Posisi informal juga dijumpai pada para pekerja di sektor industri formal. Kita dapat menjumpai, misalnya, bagaimana kebijakan outsourcing pekerja pada industri memberikan dampak seolah-olah mereka terserap dalam sektor industri formal; namun sebenarnya hanya terbatas para pekerja dalam berhadapan dengan para pemilik modal semakin menunjukkan sifat rentan, lemah, dan bergantung pada kontrak-kontrak kerja jangka pendek. Standing 2011 melanjutkan analisis atas situasi ini dengan menyebutkan betapa pasar tenaga kerja yang amat îeksibel, yang bisa berupa outsourcing atau kontrak jangka pendek, seringkali merugikan pekerja. Namun di sisi lain, lambat laun, para pekerja mulai menyesuaikaan dengan kondisi yang ia namakan sebagai prekaritas precarity. Mereka yang mampu bertahan memiliki ciri sebagai kaum prekariat precariat yang amat jeli melihat peluang dengan modal yang terbatas dalam berhadapan dengan situasi kerja yang dikuasai kaum kapitalis dan kasus yang kami pelajari, kami melihat bahwa para pekerja prekariat di industri banyak difasilitasi oleh hubungan sosial yang 249Para Pekerja Prekariat Studi Kasus Para Pekerja Sepatu di Dâarcadia Treasure, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Anisa Nuraini Swadesi & Semiarto Aji Purwantokedisiplinan jam kerja, perpindahan dari subsisten ke uang kontan, serta perubahan identtias adat Melayu, konsep pabrik Jepang, gerakan Islam, kampanye pemerintah. Temuan ini memicu fenomena kesurupan yang terjadi dalam pabrik yang diasumsikan Ong sebagai bentuk perlawanan terhadap kedisiplinan kerja dalam industri pabrik. Pendapat Ong 1987 diperkuat oleh Wolf 1992 yang meneliti para pekerja perempuan muda di berbagai pabrik Jawa Tengah. Wolf melihat pengaruh industri terhadap perempuan desa dalam konteks perempuan sebagai bagian dari gender, sebagai bagian dari rumah tangganya maupun perempuan sebagai bagian dalam industri pekerja. Perubahan pekerja perempuan ke dalam industri kerja pabrik membawa perubahan dalam lingkungan keluarga mereka. Wolf, 1992 7. Wolf 1992 tidak melihat pekerjaan pabrik sebagai semata-mata merugikan dan memarginalisasi. Mereka cenderung memilih menjadi pekerja formal dibandingkan bekerja di sektor informal seperti pertanian. Perbedaan ini dijelaskan dengan temuan bahwa pekerja perempuan muda di Jawa Tengah jauh lebih sedikit dibatasi oleh patriarki atau Islam dibandingkan para pekerja perempuan di Malaysia. Baik kajian Ong 1987 dan Wolf 1992 memberikan gambaran tentang dampak keluarga bagi industri serta resistensi dan pergulatan. Keduanya menggambarkan pengaruh industri kapitalisme ekonomi terhadap pekerja pabrik sektor formal dalam kajiannya. Pergulatan para pekerja tidak lepas dari strategi mereka untuk bertahan dalam industrialisasi. Masalah ini diangkat dalam kajian Chotim 1994 5-14 yang meneliti dinamika hubungan produksi subkontrak pada industri kecil batik. Sementara itu, kajian Setia 2005 melihat pekerja sebagai suatu komunitas dan meggambarkan strategi para pekerja dalam menghadapi persoalan yang terjadi. Penelitian yang dilakukan terhadap para komunitas pekerja di Majalaya menekankan proses-proses organisasi pekerja, identitas pekerja yang bersifat jamak, serta relasi antara industri dan komunitas Setia, 2005 3-8.Salah satu industri kapitalisme yang menarik dijadikan fokus penelitian adalah industri sepatu di Indonesia. Perkembangan industri sepatu di Indonesia dapat ditelusuri mulai dari bengkel-bengkel sepatu kecil yang memakai alat kerja manual di Cibaduyut. Industri sepatu di Cibaduyut telah beroperasi sejak 1920-an, ada beberapa yang bertahan dan berhasil membangun desain dan merek sendiri. Seiring dengan perkembangan sepatu di Cibaduyut, beberapa kota di Jawa Barat mulai memasok kebutuhan domestik industri sepatu Dahana, Mufakhir, dan Ariîżn, 2016 5. Kajian tentang industri sepatu juga telah dilakukan ILO 2003 11-18 yang difokuskan pada keterlibatan pekerja anak-anak di sektor informal industri sepatu di Jawa Barat. Selain itu ada juga kajian yang mengggambarkan tentang bagaimana model Fordism mempengaruhi industri skala kecil di Indonesia dalam bentuk tekstil, batik, sepatu, metal, dan perabot rotan Smyth, Saptari, dan Maspiyati, 1994 6. Sementara itu, kajian tentang para pekerja sepatu yang bergerak di bidang industri kapitalisme dapat ditulis oleh Tjandraningsih 1991 1-3 yang meneliti dinamika sektor industri sepatu di Tangerang dan Bogor dari aspek ketenaga-kerjaan dalam arti luas untuk mengkaji strategi perluasan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh industri sepatu. ILO 2003 20 menggolongkan produsen sepatu di Indonesia menjadi dua kelompok yaitu produsen berskala besar dan berskala 250 Sosio Informa Vol. 3, No. 03, September - Desember, Tahun 2017. Kesejahteraan Sosialkecil. Produsen subkontrak berskala besar berorientasi ekspor untuk merek-merek sepatu terkenal seperti Nike, Adidas, dan Reebok. Sedangkan produsen berskala kecil menengah dapat dicirikan dengan atau tanpa merek sendiri yang sebagian besar mensuplai pasar lokal. Produsen berskala besar terdapat di Jakarta dan sekitarnya serta di Surabaya dan sekitarnya. Sedangkan untuk produsen berskala kecil umumnya dapat dijumpai di beberapa kota besar di propinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Hal serupa tentang penggolongan produsen sepatu dipaparkan oleh Dahana, Mufakhir, dan Ariîżn 2016 8, yaitu produsen sepatu berbasis rumahan dan produsen sepatu menengah sampai besar yang mempekerjakan lebih dari 20 orang. Produsen berbasis rumahan memproduksi sepatu dengan menggunakan tangan dan banyak terdapat di kota-kota seperti Cibaduyut, Bogor, Garut, Tasikmalaya, Jombang, pesisir Surabaya, dan Jogjakarta. Biasanya produsen bengkel industri rumahan tersebut mendapatkan pesanan dari industri sepatu yang lebih besar dengan diberi modal dan bahan baku. Selain itu, ada bengkel yang memiliki toko sepatu atau memiliki koneksi dengan jaringan pembeli besar atau perusahaan pemegang merek. Sedangkan produsen skala menengah biasanya mempunyai kemandirian akan ketergantungan pesanan karena memiliki pasar tersendiri Dahana, Mufakhir, dan Ariîżn, 20168.Industri sepatu di Indonesia masih banyak yang termasuk dalam sektor informal, karena sektor informal ini mempunyai peran penting bagi penduduk negara berkembang. Pola informal ini diterapkan agar upah pekerja tetap rendah. Hal ini disebabkan karena pengusaha yang mempekerjakan pekerja dalam sektor formal memiliki kewajiban untuk memenuhi kebijakan upah minimum. Kebijakan upah minimum akan menjadi beban bagi pengusaha industri menengah ke bawah. Sedangkan pada sektor informal akan muncul ketergantungan dari pihak perusahaan dan pekerja informal. Saat ini, dengan perkembangan teknologi yang semakin maju banyak kerajinan sepatu yang sudah menggunakan mesin. Penggunaan mesin menyebabkan sepatu buatan tangan handmade shoes mulai tergeser karena arus teknologi. Mesin mempermudah proses produksi namun juga membuat pekerjanya kehilangan upah tambahan. Akibatnya, pekerja informal mudah berpindah-pindah pekerjaan dari pabrik bengkel sepatu satu ke pabrik bengkel sepatu yang lain. Ini menyebabkan tingkat perpindahan pekerjaan over turn pekerja tersebut sangat tinggi. Seringnya perpindahan pekerjaan para pekerja industri sepatu dari satu bengkel ke bengkel yang lain menunjukkan adanya hubungan sosial yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Hubungan sosial dalam lingkungan kerja adalah hubungan sosial berdasarkan pergaulan mereka dalam proses produksi Schneider, 1986 33-34. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kelangsungan produksi suatu produk memungkinkan terbentuk suatu hubungan sosial dalam lingkungan kerja tersebut. Salah satu kajian relasi dilakukan oleh Safaria, Suhanda, dan Riawanti 2003 11-13 dengan judul Hubungan Perburuhan di Sektor Informal. Para peneliti ini melakukan tiga studi kasus tentang relasi buruh majikan di sektor informal yang menggambarkan adanya dua relasi yaitu relasi subkontrak dan relasi informal identik dengan kondisi ketidakjelasan akan status dan pendapatannya. Tsing melihat prekaritas yang terkesan tidak menjanjikan justru dipandang sebagai suatu hadiah dan panduan bagi para pencari jamur. 251Para Pekerja Prekariat Studi Kasus Para Pekerja Sepatu di Dâarcadia Treasure, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Anisa Nuraini Swadesi & Semiarto Aji PurwantoMereka memiliki rasa kebebasan dan rasa keberuntungan dalam melakukan pekerjaan mencari jamur Tsing 2015 2-6. Kondisi prekaritas ini menarik untuk diteliti, karena seiring dengan perkembangan kondisi industri saat ini prekaritas semakin menjamur, khususnya bagi negara berkembang. Memiliki suatu kepastian serta memiliki jenjang karir pekerjaan yang progresif semakin sulit untuk didapatkan di kota-kota besar karena perkembangan sektor informal lebih dominan saat ini. Kami memaparkan kondisi pekerja bengkel sepatu yang bergulat dalam kondisi prekaritas, dan cara mereka menyiasati kondisi prekaritas tersebut. Mereka menyiasati prekaritas dengan cara melakukan pertukaran informasi antar pekerja sepatu. Industri kapitalisme menyebabkan berkembangnya hubungan sosial pada pekerja informal yang diakibatkan oleh persoalan besar yang dihadapi para pekerja, yaitu ketimpangan dalam hubungan antar sesama pekerja, serta antara pekerja dan pemilik modal. Perbedaan kekuatan yang mereka miliki mengakibatkan adanya ketimpangan tersebut. Hal ini sekaligus menyebabkan posisi tawar-menawar pekerja yang rendah terhadap majikannya. Kondisi ketimpangan dan posisi tawar pekerja yang rendah ini terutama dialami oleh pekerja-pekerja pada sektor informal. Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran mengenai bagaimana para pekerja, yaitu para pengrajin sepatu memilih masuk industri sepatu dâArcadia Treasure di Gunung Putri, kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penjelasan dari sudut pandang pekerja informal sepatu tentang kondisi industrialisasi saat ini. Fokus pada bentuk pertukaran informasi di bengkel industri sepatu skala menengah. Selanjutnya, dilakukan analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola relasi, serta dampak pola relasi tersebut terhadap posisi tawar pekerja dalam kondisi dâArcadia Treasure berupa produk handmade, antara lain perhiasan, sepatu dan sekarang merambah ke pembuatan tas. Menurut bu Soîże yang merupakan salah satu pemilik dâArcadia Treasure semua proses bisnis berjalan mengalir seperti air dan tak menyangka bahwa produk ini akan berkembang sebesar sekarang. Produk dâArcadia Treasure diawali dari pembuatan kerajinan tangan perhiasan yang dbuatnya sendiri pada tahun 2007. Ketika sedang melakukan pameran di salah satu mal di Jakarta ia berkenalan dengan salah satu pemilik produksi sepatu dari Tasikmalaya. Berawal dari sinilah bu Soîże mulai merambah ke pembuatan alas kaki. Kerjasama dengan produsen asal Tasikmalaya ini bermula saat bu Soîże memesan pembuatan sandal dengan cara makloon. Suatu saat, ia menerima pesanan sandal dalam jumlah besar dari Prancis. Akan tetapi, makloon langganannya ini ternyata tak bisa memenuhi pesanan. Hal ini menginspirasi bu Soîże untuk membuat bengkel sendiri yang berhasil dibangun pada tahun 2012. Seiring dengan berkembangnya produk sepatu ini, kemudian bu Soîże mengajak teman kecilnya, Dina dan Dita, untuk mengembangkannya bersama. Tahun 2014 bengkel sepatu ini pindah ke Gunung Putri agar dapat lebih berkembang. Awalnya, produk dâArcadia Treasure menggunakan bahan dasar kulit sintetis ketimbang. Ternyata, setiap mengikuti pameran, sepatu batik justru lebih laku ketimbang sepatu lainnya. Akhirnya dâArcadia Treasure berfokus memproduksi sepatu bercorak batik dan tenun. Dengan bantuan 32 pekerja, 24 pekerja di Gunung Putri yang langsung diawasinya, 8 pekerja lainnya berada di Tasikmalaya 252 Sosio Informa Vol. 3, No. 03, September - Desember, Tahun 2017. Kesejahteraan Sosialuntuk membuat sepatu selain sepatu îat, kini dâArcadia Treasure mampu memproduksi pasang sepatu per bulan. Hingga sekarang produk dâArcadia Treasure terus berkembang dengan terus manambah hasil produksinya dari sepatu îat platform, heels, clogs, wedges, sandal dan boots. Selain itu, sekarang produk dâArcadia Treasure juga merambah ke pembuatan tas yang seluruhnya bertemakan bahan kain lokal Indonesia. Sepatu îat merupakan produk terbesar sesuai dengan permintaan pasar yang juga terbesar. Diperkirakan, hal ini karena sepatu îat lebih sering dipakai konsumen, khususnya untuk pasaran di pekerja sepatu rata-rata merupakan orang luar daerah yang mencari nafkah di luar kota karena di tempat asal mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian besar para pekerja berasal dari Tasikmalaya. Hal ini terkait dengan sejarah awal pendirian bengkel sepatu dâArcadia Treasure yang merupakan makloon dari Tasikmalaya. Asal daerah yang jauh menyebabkan para pekerja tinggal di bengkel dan baru bisa pulang ke rumah setelah 6-7 minggu. Rata-rata setiap kali pulang, mereka tinggal di kampung-halaman selama seminggu. Mereka tidak membawa keluarga ke Gunung Putri, karena merasa rumahâ bagi mereka adalah tempat asal dimana mereka besar dan dilahirkan, tempat keluarga mereka berada, tempat mereka pulang kembali mengumpulkan kekayaannya. Bila mereka membawa keluarga maka mereka harus memulainya dari nol penduduk dari satu tempat ke tempat lain yang biasa disebut migrasi merupakan salah satu kehidupan pekerja sepatu. Migrasi dibedakan dalam dua kategori, yaitu migrasi permanen dan non permanen. Migrasi permanen merupakan perpindahan dengan maksud utuk menetap di tempat tujuan, sedangkan migrasi non permanen hanya untuk mencari nafkah saja. Mobilitas migrasi non permanen ini mempunyai dampak yang signiîżkan dari segi sosial dan ekonomi, tidak hanya pada para migrannya tetapi juga pada tempat asal dan tujuan mereka Hugo, 1982 67-69. Sebagian besar pekerja sepatu adalah laki-laki dan hanya sedikit pekerja perempuan. Hal ini tak lepas dari proses produksi yang membutuhkan kecepatan dan tenaga untuk percepatan proses produksi sepatu. Pilihan untuk menekuni pekerjaan di industri sepatu oleh para pekerja di bengkel sepatu dâArcadia Treasure pada awalnya merupakan desakan ekonomi. Ketidakberuntungan keluarga dalam hal ekonomi ini mengakibatkan banyak di antara pekerja yang putus sekolah. Para pekerja pembuat sepatu dalam bengkel dâArcadia Treasure ini rata-rata memiliki pendidikan lulusan ini ditandai dengan mulainya mereka menekuni pekerjaan ini sejak usia yang masih relatif muda, yaitu sekitar 10-13 tahun. Pilihan pekerjaan lainnya di lingkungan mereka diantaranya adalah menjadi buruh tani, tukang bangunan, dan pedagang perabot keliling. Pekerjaan ini dianggap cenderung lebih berat, upah yang lebih rendah, serta risiko rugi dalam berdagang membuat mereka tetap menekuni pekerjaan menjadi pekerja sepatu mempunyai peran yang sangat penting dalam proses produksi sepatu yang nantinya ikut berperan dalam peningkatan pendapatan dan dalam pemenuhan kapasitas pesanan produksi. Namun demikian, status mereka bukan sebagai pekerja tetap dan bukan juga sebagai orang luar produksi. Kontrak kerja atau perjanjian biasanya dilakukan secara lisan dan kekeluargaan sehingga para pekerja dapat dengan mudahnya keluar-masuk bengkel. Mudahnya para pekerja keluar masuk bengkel 253Para Pekerja Prekariat Studi Kasus Para Pekerja Sepatu di Dâarcadia Treasure, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Anisa Nuraini Swadesi & Semiarto Aji Purwantoini tergantung dari tawaran yang dianggap lebih baik. Dengan demikian, pertukaran informasi berperan sangat penting dalam meningkatkan kehidupan para pekerja pekerja sepatu di industri bengkel sepatu menjalin koneksi antar pekerja sepatu dâArcadia Treasure dan mereka juga bekerja sama dengan pekerja sepatu dari bengkel lain, yang dapat membantu mereka menemukan pekerjaan. Jalinan koneksi ini dilakukan dengan hubungan sosial melalui cara pertukaran informasi yang luas dan pengalaman para pekerja dalam menekuni industri sepatu ini. Melalui hubungan sosial, pertukaran informasi dilakukan oleh seorang pekerja yang kemudian dapat menyampaikan pesan tersebut kepada lebih banyak pekerja dibandingkan dengan banyaknya orang yang ia kenal, karena tiap-tiap pekerja yang berhubungan langsung dengan pemberi pesan mempunyai potensi untuk menyampaikan pesan tersebut kepada banyak orang lagi. Melalui pengalaman, para pekerja sepatu tersebut juga dapat memperluas hubungan sosial mereka. Seperti yang dikatakan Turner 1986 pengalaman merupakan hasil dari apa yang dirasakan, diinginkan dan dipikirkan pada kondisi saat ini. Pengalaman seorang pekerja tentang hubungannya dengan pekerja lain mempunyai potensi untuk memperluas hubungan sosialnya dari cerita sosial merupakan strategi para pekerja untuk memperkecil kerentanan dalam kondisi prekaritas. Hal ini berkaitan dengan hubungan para pekerja sepatu di bengkel dâArcadia Treasure dengan pekerja di bengkel lain yang mempunyai akses untuk mendapatkan informasi tentang kesempatan tawaran pekerjaan yang lebih menarik. Sebagaimana dikatakan Spradley dan McCurdy 1975 hubungan sosial akan terbentuk jika dilakukan secara teratur dan berulang. Hubungan Sosial Berdasakan Kesamaan Tempat BelajarTempat belajar dilihat dari banyaknya mereka belajar, baik dari tetangga ataupun saudara mereka yang memiliki bengkel home industry. Banyak pekerja, khususnya dari Tasikmalaya, memiliki ruang untuk belajar membuat sepatu karena Tasikmalaya merupakan sentra industri sandal dan sepatu. Kesamaan tempat belajar berperan penting bagi para pekerja untuk memulai hubungan sosialnya di tempat belajar tempat belajar ini juga dapat dilihat dari adanya pekerja yang memiliki guru yang sama. Sebagian pekerja asal Tasikmalaya biasanya memiliki guru atau pengajar yang berada atau tinggal di dekat rumah mereka masing-masing. Namun demikian, tidak semua pekerja yang rumahnya berdekatan memiliki guru yang sama. Sebut saja dua pekerja yang bersaudara Dita dan Dina, mereka memiliki guru yang berbeda dengan alasan guru yang biasa mengajari Dita yang merupakan paman mereka terkenal galak, sehingga Dina memilih untuk belajar pada tetangganya yang biasa dipanggil pak tuaâ.Dari tempat belajar yang berbeda ini kemudian nasib yang mereka miliki juga berbeda, mereka tidak selalu bekerja di tempat yang sama walaupun mereka bersaudara dan memiliki keterampilan yang sama. Hal ini karena adanya hubungan sosial yang berbeda antara mereka. Namun demikian, hubungan sosial mereka pun juga dapat bertambah luas akibat perbedaan tempat belajar Sosial Berdasarkan Pertemanan Pertemanan yang kuat terlihat jelas ketika salah seorang teman mengalami kesusahan. Cerita berawal dari salah seorang pekerja 254 Sosio Informa Vol. 3, No. 03, September - Desember, Tahun 2017. Kesejahteraan Sosialyang rajin menabung dan bekerja keras untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Akbar, misalnya, adalah seorang pekerja harian yang ingin memberikan yang terbaik untuk adik-adiknya. Demi adik-adiknya Akbar giat menambah jam kerja untuk mendapatkan upah lembur. Hal ini mengakibatkan Akbar mengalami kurang tidur. Ditambah dengan pola makan yang tidak teratur karena ingin menghemat biaya, kebiasaan ini berdampak negatif bagi kesehatan Akbar. Karena suhu badan panas, pusing, tenggorokan sakit, lemas, mual dan muntah, Akbar diperiksakan ke dokter dan dibiayai oleh pemilik bengkel. Setelah diperiksa dan dilakukan cek darah dia dinyatakan sakit tipus dan harus dirawat. Selama sakit tersebut, Akbar diantar ke dokter dan dirawat oleh teman yang seusia dengannya, sebut saja namanya Maman. Seperti Akbar, Maman merupakan pekerja asal Tasikmalaya. Pertemanan mereka ini dapat dilihat dari seringnya mereka berkomunikasi satu dengan yang sakit di kota yang jauh dari keluarga menyebabkan Akbar ingin kembali ke kampung halamannya di Tasikmalaya. Ketika kondisinya sudah sedikit membaik dia memilih untuk dirawat di kampung halamannya di Tasikmalaya. Maman pun mengantar Akbar hingga kampung karena khawatir terjadi sesuatu di jalan. Akbar memulihkan diri di Tasikmalaya selama hampir sebulan. Semua biaya perawatan ditanggung oleh pemilik bengkel, namun sebagai pekerja upah harian Akbar tidak bisa menghasilkan uang. Maman pun rela memberi sebagian upahnya untuk keperluan adik-adik Sosial Berdasarkan Kekerabatan Di bengkel dâArcadia Treasure, ada beberapa pekerja yang memiliki hubungan kekerabatan. Terdapat dua kelompok yang bersaudara kandung, satu kelompok yang memiliki hubungan ipar, serta satu kelompok yang memiliki hubungan paman dan keponakan. Pada awalnya hubungan sosial dalam pertukaran informasi para pekerja tersebut dilakukan secara linier, dan faktor hubungan kekerabatan memegang peranan penting. Peranan kekerabatan juga berfungsi sebagai sarana untuk tolong-menolong di dalam lingkaran kekerabatan mereka bila ada yang mengalami kesulitan. Ketika salah seorang di antara mereka pulang kampung, para pekerja tidak akan segan untuk menitipkan sesuatu baik barang maupun uang kepada Sosial Berdasarkan Asal DaerahPentingnya peranan kesamaan asal daerah disebabkan karena mereka umumnya sering mengadakan hubungan. Pertukaran informasi umumnya dilakukan di kalangan yang mempunyai perasaan senasib dari daerah yang sama. Dari proses perpindahannya, keberangkatan para pekerja yang baru pertama kali pindah ke kota umumnya diajak oleh pekerja yang sudah mempunyai lapangan pekerjaan di kota tersebut. Jarang terjadi kasus dimana para pekerja bersedia pindah bila tidak ada ajakan atau informasi sedikit pun mengenai ketersediaan lowongan pekerjaan. Ketika di daerah asalnya mereka pun cenderung memiliki rasa kedekatan. Rasa kedekatan dapat dirasakan dari segi kesamaan bahasa maupun tempat lokasi daerah asal mereka. Sehingga hubungan sosial mereka sering dilakukan untuk berbagai kepentingan. Hal ini dbuktikan dari sebagian besar para pekerja berasal dari Tasikmalaya. Mereka mempunyai hubungan yang erat ketika hendak pulang ke asalnya walaupun bergantian mereka tidak sendiri, setidaknya ada teman untuk berbincang selama perjalanan. Namun ada pekerja yang dapat membaur tidak berdasarkan kesamaan daerah, misalnya seperti Ranto 255Para Pekerja Prekariat Studi Kasus Para Pekerja Sepatu di Dâarcadia Treasure, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Anisa Nuraini Swadesi & Semiarto Aji Purwantoyang berasal dari Cilacap dan tidak memiliki kesamaan bahasa maupun adat. Ketika pulang ke kampungnya pun dia tidak mempunyai teman untuk pergi Sosial Berdasarkan GenerasiKehidupan pekerja sepatu mempunyai perbedaan yang mencolok antar generasi. Dalam kehidupan para pekerja sepatu terdapat generasi senior dan junior. Para pekerja senior pada awalnya belajar membuat sepatu dari awal sampai akhir sehingga kemampuan mereka relatif lebih mahir dari pada generasi setelahnya yang menguasai satu bagian pembuatan saja. Selain itu, ketika mereka mempelajari pembuatan sepatu ini mereka harus membayar untuk dapat menguasai cara pembuatan sepatu berbeda dengan generasi sekarang yang mempelajarinya dengan tidak senior juga pada umumnya lebih banyak dikenal oleh bengkel-bengkel sehingga mereka menerima lebih banyak tawaran pekerjaan. Dengan ini mereka bertemu dengan pekerja senior lainnya yang kemungkinan akan dapat memberikan informasi tentang bengkel lainnya yang lebih luas. Posisi junior yang belum lama berkecimpung dalam industri sepatu membuat tawaran untuk bekerja sama dengan pekerja senior diinginkan untuk memperluas hubungan para pekerja untuk tetap bertahan di industri sepatu antara lain disebabkan oleh faktor kebebasan dalam menentukan jam kerja, pemberian upah yang relatif cepat per minggu, serta faktor ketrampilan atau skill yang dapat mereka asah. Kasus-kasus yang kami sajikan di atas menjadi contoh bagaimana mereka merasa nyaman bekerja di bengkel prekaritas pada kehidupan mereka sebagai pekerja sepatu, tidak sepenuhnya bersifat negatif. Upaya untuk mengeliminir aspek negatif prekaritas itu terus mereka lakukan dengan menjalin hubungan sosial di antara mereka. Upaya tersebut mereka pelihara dan kembangkan agar dapat memudahkan mereka dalam mengatasi masalah yang ada ke ini menemukan adanya bentuk hubungan sosial sebagai salah satu strategi yang dikembangkan dan dipelihara para pekerja sepatu dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Hubungan sosial tersebut, yaitu 1 hubungan sosial berdasarkan kesamaan tempat belajar; 2 hubungan sosial berdasarkan kecocokan pertemanan; 3 hubungan sosial berdasarkan sistem kekerabatan dan kekeluargaan; 4 hubungan sosial berdasarkan asal daerah yang sama; dan 5 hubungan sosial berdasarkan pada generasi. Ketika Standing bicara mengenai kemungkinan munculnya kelas prekariat yang berbasis pada kondisi prekariat para pekerja, ia tengah membayangkan suatu bentuk perlawanan kelas. Namun kajian kami menunjukkan dalam kasus pekerja bengkel sepatu ini isu perjuanga kelas tidak terlalu terlihat. Sebaliknya yang mengemuka adalah pilihan-pilihan strategis untuk tetap bertahan pada kondis yang secara ekonomis hanya di ambang cukup belaka. Kehidupan para buruh itu tidak terlalu mencemaskan dalam konteks pemutusan hubungan kerja akibat sistem ketenagakerjaan yang informal. Dengan hubungan sosial yang mereka kembangkan, mereka dapat berpindah-pindah kerja dengan relatif mudah. Di sisi lain, hubungan sosial yang menjamin akses mereka masuk ke industri seperti menjadi jawaban atas ketidakpastian ikatan kerja atau jangka kontrak yang pendek. Sebagaimana Tsing ungkapkan, situasi prekaritas yang patchy nampaknya telah mereka balik menjadi 256 Sosio Informa Vol. 3, No. 03, September - Desember, Tahun 2017. Kesejahteraan Sosialbaik. Bagi para pekerja di dâArcadia, situasi ini justru menjadi hal yang positif karena mereka menjadi lebih bebas, tidak terlalu terikat, sehingga ketika ada tawaran di tempat lain yang lebih baik mereka bisa pekerja sepatu memiliki cara bertahan dengan melakukan hubungan sosial yang mereka pelihara dan kembangkan dengan baik. Hal ini menunjukkan pentingnya hubungan sosial dalam kondisi prekaritas yang dialami para pekerja sepatu. Jika dikembangkan, hubungan sosial akan dapat tercipta suatu asosiasi sebagai wadah perkumpulan pekerja. Wadah asosiasi ini dapat berfungsi sebagai pusat informasi bagi para pekerja untuk mendapatkan kesempatan bekerja dengan tawaran yang lebih TERIMA KASIHPenulisan ini tak lepas dari bantuan dari pihak dâArcadia Treasure, ibu Soîże owner, para staff, dan para pengrajin. Diskusi dan penajaman konseptual kami peroleh dari rekan-rekan di Departemen Antropologi FISIP UI, terutama dari Dr. Prihandoko, Dr. Irwan Hidayana, dan Dr. Sri PUSTAKABruner, E. M. 1986. âExperience and Its Expressionsâ. In Anthropology of Experience, V. W. Turner, E. M. Bruner, V. W. Turner, & E. M. Bruner Eds., The, pp. A. 2001. Gagalnya Pembangunan Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia. Jakarta E. E. 1994. Subkontrak dan Implikasinya terhadap Pekerja Perempuan Kasus Industri Kecil Batik Pekalongan. Bandung B. T., Mufakhir, A., & Ariîżn, S. 2016. Dari Mana Pakaianmu Berasal? Upah dan Kondisi Kerja Buruh Industri Garmen, Tekstil dan Sepatu di Indonesia. Bogor Lembaga Informasi Perburuhan Sedane LIPS. diakses tanggal 14 Oktober 2016Hugo, G. J. 1982. Circular Migration in Indonesia. Population and Development Review, 8, 59-83. diakses tanggal 29 April 2017ILO. 2003. Pekerja Anak di Industri Sepatu Informal di Jawa Barat Sebuah Kajian Cepat. Jakarta Kantor Perburuhan C. &. 1985. Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota. Jakarta Yayasan Obor A. 1987. Spirits of Resistance and Capitalist Discipline Factory Women in Malaysia. Albany State University of New York A. F., Suhanda, D., & Riawanti, S. 2003. Hubungan Perburuhan di Sektor Informal Permasalahan dan Prospek. Bandung Yayasan E. V. 1986. Sosiologi Industri. Jakarta Aksara R. 2005. Gali Tutup Lubang itu Biasa. Strategi Buruh Menanggulangi Persoalan. Bandung I., Saptari, R., & Maspiyati. 1994. Flexible Specialization and Small-scale Industries An Indonesian Case Study. Geneva International Labour Ofîż J. P., & McCurdy, D. 1975.. Anthropology The Cultural Perspective. New York John Wiley and Sons, Inc,.Standing, G. 2011. The Precariat The New Dangerous Class. London Bloomsbury I. 1991. Tenaga Kerja Pedesaan pada Industri Besar Sepatu Olahraga untuk Ekspor. Bandung PSP-IPB - ISS - PPLH - V. W. 1986. Dewey, Dilthey, and Drama An Essay in the Anthropology of Experience. In V. W. Turner, & E. M. Bruner, The Anthropology of Experience pp. 33-34. Chicago University of Illionis Press. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this is my first book 1986, an ethnographic study of the experiences of young Muslim women in high tech factories in Malaysia. Based on a yearlong fieldwork in rural Malaysia, the study examines how their factory experiences and wages contribute to a mix of freedoms and unfreedoms in their family and social lives. Islamic concerns about female virtue help to enforce labor discipline and surveillance on the shopfloor. Episodes of spirit possesion erupted among the docile female workers. Another backlash comes in the form of Islamic fundamentalism that demands stricter practices to control women's bodies and virtue in the midst of industrialization & urbanization. This is a first study of how off-shore labor-intensive high-tech factories tap into the pool of young rural women in developing countries. It illuminates the multinational and multi-cultural features of runaway factories in search of cheap and pliable labor in the digital era. Because this is a book, I can't provide te full text. Instead, read these 3 articles that are posted online "The Production of Possession Spirits & the Multinational Corporation in Malaysia"; "State versus Islam Malay families, women's bodies, & the body politic in Malaysia"; and "Japanese Factories, Malay Workers Class & Sexual Metaphors in Malaysia."Graeme J. HugoCircular migration, especially between village and city, has significant social and economic implications for both migrants and their places of origin and destination. Many studies, especially those based in Java, found that the great majority of nonpermanent movers have no intention of shifting permanently to their urban destinations. The bulk of this mobility, however, goes unrecorded; the criteria used to define migrants in the 1971 census excluded most short-term and short-distance movers. No doubt economic benefits accrue to individual migrants, their families, and villages. Yet circular migration most likely preserves existing inequalities and may divert attention from larger investment of resources in urban areas and peasant agriculture. It behooves policy-makers to obtain sure estimates of nonpermanent mobility, for example, by incorporating appropriate questions in census or national sample surveys. Guy StandingNeoliberalism, stemming from the musings of the Mont Pelerin Society after the Second World War, meant a model of liberalization, commodification, individualism, the privatization of social policy as well as production, and â least appreciated â the systematic dismantling of institutions and mechanisms of social solidarity. From the late 1970s onwards, it meant the painful construction of a global market system, in which the globalization era was the disembedded phase of the Global Transformation, analogous to a similar phase in Karl Polanyiâs Great Transformation. In both cases, the disembedded phase was dominated by financial capital, generating chronic insecurities and inequalities. But whereas Polanyi was analysing the construction of national markets, the Global Transformation is about the painful construction of a global market system. One consequence has been the emergence of a global class structure superimposed on national structures. In order to move towards a re-embedded phase, it is essential to understand the character of the class fragmentation, and to conceptualize the emerging mass class-in-the-making, the precariat. This is a controversial concept, largely because traditional Marxists dispute its class character. However, it is analytically valuable to differentiate it, since it has distinctive relations of production, relations of distribution and relations to the state. It is still a class-in-the-making rather than a class-for-itself. But it is the new dangerous class because it is a force for transformation, rejecting both labourist social democracy and neoliberalism. It has a distinctive consciousness, although it is this that holds it back from being sufficiently a class-for-itself. It is still divided, being at war with itself. However, it has moved out of its primitive rebel phase, and in the city squares around the world is setting a new progressive agenda based on its insecurities and d'Arcadia Treasure, ibu Sofie owner, para staff, dan para pengrajin. Diskusi dan penajaman konseptual kami peroleh dari rekan-rekan di Departemen Antropologi FISIP UI, terutama dari Dr. Prihandoko, Dr. Irwan Hidayana, dan DrD A Penulisan Ini Tak Lepas Dari Bantuan Dari PihakPenulisan ini tak lepas dari bantuan dari pihak d'Arcadia Treasure, ibu Sofie owner, para staff, dan para pengrajin. Diskusi dan penajaman konseptual kami peroleh dari rekan-rekan di Departemen Antropologi FISIP UI, terutama dari Dr. Prihandoko, Dr. Irwan Hidayana, dan Dr. Sri and Its ExpressionsE M BrunerBruner, E. M. 1986. "Experience and Its Expressions". In Anthropology of Experience, V. W. Turner, E. M. Bruner, V. W. Turner, & E. M. Bruner Eds., The, pp. dan Implikasinya terhadap Pekerja Perempuan Kasus Industri Kecil Batik PekalonganE E ChotimChotim, E. E. 1994. Subkontrak dan Implikasinya terhadap Pekerja Perempuan Kasus Industri Kecil Batik Pekalongan. Bandung Industri. Jakarta Aksara PersadaE V SchneiderSchneider, E. V. 1986. Sosiologi Industri. Jakarta Aksara The Cultural PerspectiveJ P SpradleyD MccurdySpradley, J. P., & McCurdy, D. 1975.. Anthropology The Cultural Perspective. New York John Wiley and Sons, Inc,.Tenaga Kerja Pedesaan pada Industri Besar Sepatu Olahraga untuk EksporI TjandraningsihTjandraningsih, I. 1991. Tenaga Kerja Pedesaan pada Industri Besar Sepatu Olahraga untuk Ekspor. Bandung PSP-IPB -ISS -PPLH -ITB.
Sebutkan Pekerja Dalam Industri Sepatu. Pada industri kecantikan, biasanya bisnis yang ada adalah seperti spa, salon kecantikan meliputi perawatan rambut, kuku, hingga makeup, dan dermatologi. Dengan bekal keterampilan dan tekad, mereka kemudian mulaiBKPM Minat Usaha Mikro Tetap Juara di Masa Pandemi from Tuliskan pendapatmu pada kotak berik. Sepatu docmart juga dikenal memiliki fungsi yang praktis, awet, dan nyaman dipakai terutama untuk mereka yang pekerja keras. Sentra industri sepatu cibaduyut adalah strategi produk leadership yaitu dengan lebih menekankan kualitas produk, baik dari segi fitur dan kualitas dan faktor lain dimana pengusaha cibaduyut ingin menunjukkan bahwa produknya sangat layak untuk digunakan. BKPM Minat Usaha Mikro Tetap Juara di Masa PandemiDalam poin lampiran permenakertrans 8/2010 dikatakan lebih lanjut bahwa jenis pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan, pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi bahaya peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang. Citra cendekia indonesia sebagai konsultan bisnis di indonesia, pada awal januari 2018 telah berhasil melakukan penelitian terhadap industri dan pasar sepatu di indonesia dan telah menghimpunnya dalam satu buku yang berjudul â studi prospek industri dan pemasaran sepatu di indonesia 2018âł. Sepatu ini hadir agar penggunanya merasa nyaman dan bisa mengekspresikan diri. Oleh bitar diposting pada 27 februari 2022.
Padakesempatan kali ini membuat artikel mengenai Distribusi Adalah: Pengertian, Menurut Para Ahli, Fungsi, Tujuan, Macam, Contoh, Manfaat, Tugas, yuk disimak ulasannya dibawah ini: Pengertian Distribusi Secara umum, []